kerja remote atau kerja dari rumah, hidup saya, berubah total. Awalnya, saya pikir ini kesempatan bagus untuk lebih dekat dengan keluarga. Tidak ada perjalanan panjang ke kantor, bisa lebih sering melihat anak, dan bekerja dari kenyamanan rumah. Tapi kenyataan ternyata tidak seindah itu.
Setiap pagi, saya memulai hari dengan niat untuk produktif. Namun, baru saja membuka laptop, anak saya sudah berlari ke arah saya sambil membawa mainannya. “Ayah, main bola!” katanya dengan mata berbinar. Saya tidak tega menolak, tapi di sisi lain, pekerjaan sudah menumpuk. Akhirnya, saya bermain sebentar dengannya, namun hati gelisah memikirkan deadline yang terus mendekat.
Saat siang, biasanya waktu istirahat digunakan untuk makan atau tidur sejenak. Namun di rumah, itu hampir mustahil. Anak saya belum tidur siang, dan dia ingin ditemani sepanjang waktu. Kadang, sambil makan, saya harus menjawab panggilan kerja atau membalas email, sementara tangan yang lain sibuk mengangkat anak saya yang merengek minta perhatian.
Ketika malam tiba, saya berharap pekerjaan selesai, dan bisa beristirahat. Tapi kenyataannya, pekerjaan sering tertunda karena waktu siang tersita untuk anak. Alhasil, saya bekerja hingga larut malam, diiringi suara anak yang menangis karena tidak mau tidur tanpa saya. Waktu tidur saya jadi semakin berkurang, dan tubuh mulai terasa lelah.
Tidak ada batas yang jelas antara menjadi pekerja, suami, dan ayah. Semua bercampur dalam satu hari yang panjang dan melelahkan. Kadang, saya rindu suasana kantor, di mana pekerjaan selesai ketika jam kerja berakhir, dan sisa waktu bisa benar-benar dihabiskan bersama keluarga.
Namun, di tengah semua kelelahan ini, ada satu hal yang selalu menguatkan saya: senyuman anak saya. Saat dia memeluk saya dan berkata, “Ayah hebat,” semua rasa lelah sedikit memudar. Meski berat, saya tahu ini adalah bagian dari perjuangan sebagai seorang ayah. Saya hanya perlu mencari cara agar bisa lebih seimbang, untuk pekerjaan, keluarga, dan diri sendiri.