Maret 13, 2025

Kejar Dunia atau Akhirat?

Pak Ustadz: "Jangan kejar dunia, kejar itu akhirat!"

Aku: mengangguk khusyuk "Betul, Pak Ustadz, betul…"

Tapi pas lihat Pak Ustadz turun dari Pajero…

Aku: "??????" mulai berpikir keras

Lalu tiba-tiba Pak Ustadz lanjut ceramah: "Ingat rukun Islam yang kelima, ya. Haji kalau mampu."

Aku langsung lemes… "Beratnya nyoook, Baru nabung, itu aja habis sama biaya admin, Pak Ustadz!"

Maret 11, 2025

Mengapa Mengejar Kebahagiaan Dunia Justru Membuat Lelah? Ini Penjelasannya!

Mencari kebahagiaan di dunia adalah fitrah manusia, tetapi jika seseorang menjadikannya sebagai tujuan utama, ia akan mendapati dirinya semakin lelah dan hampa. Dunia ini bukan tempat kebahagiaan yang abadi, melainkan tempat ujian. Allah SWT telah menjelaskan dalam Al-Qur’an:

"Dan tidaklah kehidupan dunia ini melainkan permainan dan senda gurau belaka. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, jika mereka mengetahui." (QS. Al-Ankabut: 64)

Orang yang mengejar kebahagiaan dunia tanpa mengingat akhirat akan selalu merasa kurang. Harta, jabatan, popularitas, dan kesenangan duniawi hanya bersifat sementara. Semakin dikejar, semakin ia merasa haus, karena dunia tidak akan pernah bisa memenuhi hati manusia sepenuhnya.

Ketika seseorang menggantungkan kebahagiaannya pada dunia, ia akan kecewa saat kehilangan sesuatu yang ia cintai, mengalami kegagalan, atau menghadapi musibah. Sebab, dunia ini penuh dengan ujian:

"Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 155)

Sebenarnya, kebahagiaan sejati adalah ketika hati dekat dengan Allah, merasa tenang dalam keimanan, dan yakin bahwa kehidupan akhirat adalah tempat yang kekal. Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberi rezeki yang cukup, dan dikaruniai hati yang merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah kepadanya." (HR. Muslim)

Orang yang menjadikan akhirat sebagai tujuan utama akan menghadapi dunia dengan penuh kesabaran dan syukur. Ia tahu bahwa dunia hanyalah tempat persinggahan, dan kebahagiaan sejati ada di surga yang Allah janjikan bagi orang-orang beriman. Oleh karena itu, jangan sampai kita tertipu oleh gemerlap dunia yang fana, tetapi jadikan dunia sebagai ladang amal untuk kehidupan akhirat yang abadi.

Semoga kita termasuk orang-orang yang mencari kebahagiaan sejati dengan mengutamakan akhirat di atas dunia. Aamiin.

Maret 10, 2025

Jurnal Keuangan dan Motivasi Berhemat Saat Keuangan Seret 

Hari 1: Evaluasi Keuangan 

Hari ini saya mengevaluasi kondisi keuangan saya. Saya mencatat semua pemasukan dan pengeluaran dalam sebulan terakhir. Dari sini, saya menemukan beberapa pengeluaran yang bisa dikurangi, seperti jajan di luar atau langganan yang tidak terpakai. Saya bertekad untuk lebih disiplin dalam mengatur keuangan mulai sekarang.

Motivasi: "Setiap rupiah yang saya hemat hari ini akan memberi saya lebih banyak ketenangan di masa depan."

Hari 2: Menyusun Anggaran 

Saya membuat anggaran ketat untuk beberapa minggu ke depan. Saya membagi pengeluaran menjadi kebutuhan utama (makan, transportasi, tagihan) dan kebutuhan sekunder (nongkrong, belanja, hiburan). Saya menetapkan batas untuk setiap kategori agar tidak boros.

Motivasi: "Hidup hemat bukan berarti sengsara, tapi belajar menghargai setiap rupiah yang saya miliki."

Hari 3: Mengurangi Pengeluaran Tidak Perlu 

Saya menyadari bahwa saya sering membeli kopi di luar, padahal bisa membuat sendiri di rumah. Saya juga menahan diri dari godaan belanja impulsif. Hari ini, saya berhasil melewati hari tanpa membeli hal yang tidak saya butuhkan.

Motivasi: "Saya mengontrol uang saya, bukan sebaliknya. Saya bisa hidup lebih sederhana dan tetap bahagia."

Hari 4: Mencari Penghasilan Tambahan 

Saya mulai mencari cara untuk menambah pemasukan, seperti menjual barang yang tidak terpakai atau mencoba pekerjaan sampingan. Saya menyadari bahwa dengan sedikit usaha ekstra, saya bisa memperbaiki kondisi keuangan saya.

Motivasi: "Setiap usaha kecil yang saya lakukan hari ini akan membawa hasil besar di masa depan."

Hari 5: Menabung Walaupun Sedikit 

Meskipun keuangan sedang seret, saya tetap berusaha menabung, walaupun hanya Rp5.000 atau Rp10.000 per hari. Saya percaya bahwa kebiasaan menabung akan membantu saya di saat darurat.

Motivasi: "Bukan soal jumlahnya, tapi konsistensinya. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit."

Hari 6: Menikmati Hidup dengan Cara Sederhana 

Saya menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana: memasak sendiri, membaca buku, dan menikmati waktu bersama keluarga tanpa harus mengeluarkan banyak uang. Saya sadar bahwa kebahagiaan tidak selalu berasal dari belanja atau gaya hidup mahal.

Motivasi: "Hidup sederhana membawa kedamaian. Saya belajar bersyukur dengan apa yang saya miliki."

Hari 7: Merefleksikan Perjalanan 

Setelah satu minggu menjalani hidup hemat, saya merasa lebih tenang dan lebih bijak dalam mengelola uang. Saya belajar bahwa mengatur keuangan bukan hanya soal menghindari pemborosan, tapi juga soal membangun kebiasaan baik untuk masa depan yang lebih stabil.

Motivasi: "Saya bertanggung jawab atas keuangan saya. Dengan disiplin dan kesabaran, saya bisa mencapai kestabilan finansial."

Kesimpulan:
Berhemat saat keuangan sedang seret memang menantang, tetapi dengan kesadaran dan disiplin, saya bisa mengubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan yang lebih sehat. Saya belajar bahwa hidup hemat bukan berarti hidup susah, melainkan hidup lebih terencana dan lebih tenang.



Maret 06, 2025

Terwujud, Enggak Terwujud, Tetap Bersujud

Hidup adalah perjalanan yang penuh dengan harapan dan doa. Setiap manusia pasti memiliki impian, cita-cita, dan keinginan yang ingin dicapai. Ada yang terwujud sesuai harapan, ada pula yang tak kunjung menjadi nyata. Namun, dalam setiap keadaan—baik saat berhasil maupun gagal—kita diajarkan untuk tetap bersujud, tetap bersyukur, dan tetap percaya bahwa setiap ketetapan Tuhan adalah yang terbaik.

Ketika sesuatu yang kita harapkan akhirnya terwujud, itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang memberikan apa yang kita butuhkan di waktu yang tepat. Rasa syukur tak hanya diekspresikan dalam kebahagiaan, tetapi juga dalam sujud yang penuh kerendahan hati.

Sebaliknya, ketika yang kita inginkan belum atau bahkan tidak terwujud, itu bukan berarti Tuhan tidak mendengar doa kita. Bisa jadi, ada sesuatu yang lebih baik yang tengah disiapkan-Nya, atau mungkin Dia ingin mengajarkan kita tentang kesabaran, keikhlasan, dan keteguhan hati. Di sinilah sujud menjadi wujud kepasrahan, keyakinan bahwa rencana-Nya lebih baik dari rencana kita.

Sebab pada akhirnya, hidup bukan hanya soal mendapatkan apa yang kita inginkan, tetapi juga tentang bagaimana kita tetap teguh dalam iman, tetap rendah hati dalam pencapaian, dan tetap bersujud dalam segala keadaan.

Maret 05, 2025

Motivasi Berpuasa di Bulan Ramadan

Ramadan adalah bulan penuh berkah, di mana setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya. Berpuasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga melatih kesabaran, keikhlasan, serta meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Saat berpuasa, kita belajar untuk mengendalikan hawa nafsu, memperbanyak ibadah, dan lebih peduli terhadap sesama. Ini adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, mendekatkan hati kepada Allah, serta memperbanyak doa dan dzikir.

Ingatlah bahwa setiap kesulitan dalam berpuasa akan berbuah pahala besar. Rasulullah SAW bersabda:

"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari dan Muslim)

Jadikan Ramadan sebagai momentum untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas ibadah. Semoga kita semua diberikan kekuatan dan keistiqomahan dalam menjalankan puasa dengan penuh keikhlasan dan ketaatan.

Tetap semangat dan jadikan Ramadan ini lebih baik dari sebelumnya!

Maret 03, 2025

Mengasuh Anak di Tengah Kesepian dan Tekanan Finansial


Menjadi orang tua adalah perjalanan yang penuh cinta, tetapi juga bisa melelahkan, terutama ketika harus menjalani peran ini dengan perasaan kesepian dan tekanan finansial yang menghimpit. Banyak orang tua, terutama ibu, merasa kehilangan interaksi sosial setelah memiliki anak. Rutinitas sehari-hari yang berulang, seperti mengurus rumah, menyusui, atau mendampingi anak, sering membuat mereka merasa terisolasi dari dunia luar. Teman-teman mungkin sibuk dengan kehidupan masing-masing, dan kesempatan untuk sekadar berbincang dengan orang lain menjadi semakin jarang.

Di sisi lain, tekanan finansial menambah beban mental yang berat. Kebutuhan anak terus bertambah, sementara kondisi ekonomi kadang tidak sejalan dengan harapan. Biaya pendidikan, kesehatan, hingga kebutuhan pokok sering kali menjadi sumber stres. Ketika keuangan terbatas, orang tua mungkin merasa bersalah karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anak mereka. Semua ini dapat menumpuk dan meledak dalam bentuk emosi yang tidak stabil—mudah marah, cepat frustrasi, atau kehilangan kesabaran terhadap hal-hal kecil.

Kesepian dan stres finansial adalah kombinasi yang bisa menguras ketahanan emosional. Saat tidak ada tempat untuk berbagi, semua beban terasa harus ditanggung sendiri. Akibatnya, anak-anak bisa menjadi pelampiasan ketegangan tanpa disadari.

Namun, menyadari perasaan ini adalah langkah pertama untuk mengatasinya. Mencari komunitas parenting, berbagi cerita dengan sesama orang tua, atau sekadar menghubungi teman lama bisa membantu mengurangi rasa kesepian. Untuk tekanan finansial, menerima kondisi dengan lebih lapang dan fokus pada solusi kecil—seperti mengatur keuangan lebih baik atau mencari peluang tambahan—dapat meringankan beban pikiran.

Anak-anak tidak membutuhkan orang tua yang sempurna, tetapi mereka butuh orang tua yang cukup bahagia untuk bisa memberi mereka cinta tanpa batas. Jadi, jangan ragu untuk mencari dukungan dan ruang untuk diri sendiri, karena kesehatan mental orang tua juga sama pentingnya dengan kebahagiaan anak.

Februari 28, 2025

Marhaban ya Ramadan!

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Alhamdulillah, kita kembali dipertemukan dengan bulan yang penuh berkah, bulan Ramadan yang mulia. Bulan yang di dalamnya Allah limpahkan rahmat, ampunan, dan pembebasan dari api neraka.

Marilah kita sambut Ramadan dengan hati yang bersih, penuh rasa syukur, dan semangat untuk meningkatkan ibadah. Semoga di bulan suci ini, kita diberi kekuatan untuk menjalankan puasa dengan penuh keikhlasan, memperbanyak amal kebaikan, serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Selamat menunaikan ibadah puasa! Semoga Ramadan kali ini membawa keberkahan, kebahagiaan, dan kedamaian bagi kita semua.

Marhaban ya Ramadan!
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Februari 21, 2025

Empat Puluh Tahun




Memasuki usia empat puluh, seharusnya bukan lagi saatnya sibuk mencari pekerjaan tetap, melainkan saat untuk tetap bekerja dengan penuh dedikasi dan kebijaksanaan. Di usia ini, pengalaman hidup dan profesional sudah seharusnya menjadi modal utama untuk berkarya, bukan lagi berlari mengejar kepastian yang semu.

Empat puluh adalah masa di mana seseorang mulai menuai hasil dari kerja keras di masa muda. Bukan berarti berhenti berjuang, tetapi berjuang dengan cara yang lebih cerdas dan terarah. Fokus bukan lagi pada mencari penghidupan, melainkan pada bagaimana memberikan nilai, berbagi ilmu, dan menciptakan dampak positif bagi sekitar.

Tetap bekerja di usia ini bukan hanya soal penghasilan, tetapi juga menjaga semangat hidup, kesehatan mental, dan rasa produktivitas. Menjadi panutan bagi generasi yang lebih muda, menunjukkan bahwa konsistensi dan integritas adalah kunci keberhasilan yang sesungguhnya.

Jadi, memasuki usia empat puluh bukan lagi tentang kecemasan akan masa depan, melainkan tentang bagaimana menjalani hari ini dengan bijak, penuh syukur, dan tetap berkarya tanpa henti.

Februari 12, 2025

Ilusi Kemewahan: Ketika Kepemilikan Hanya Fatamorgana



Kita hidup di zaman di mana kepemilikan dianggap sebagai tolok ukur kesuksesan. Rumah mewah, mobil terbaru, gadget canggih—semua ini seolah menjadi simbol keberhasilan dalam hidup. Namun, benarkah kita benar-benamemilikinya? Ataukah kita hanya terjebak dalam ilusi kemewahan yang menutupi kenyataan?

1. Cicilan di Balik Kepemilikan
Banyak dari kita merasa sudah memiliki segalanya, padahal di balik itu ada beban finansial yang harus ditanggung setiap bulan. KPR yang belum lunas, cicilan kendaraan yang masih berjalan, dan kartu kredit yang terus menumpuk. Kita berusaha tampil seolah mapan, tetapi kenyataannya, kita hanya bekerja untuk membayar tagihan. Alih-alih menikmati hidup, kita justru menjadi budak cicilan yang tak ada habisnya.

2. Bekerja untuk Hidup atau Hidup untuk Bekerja?
Rutinitas harian kita pun berubah menjadi perlombaan tanpa akhir. Bangun pagi, berangkat kerja, pulang larut, lalu mengulanginya lagi keesokan harinya. Semua ini dilakukan demi memenuhi kewajiban finansial yang terus menghantui. Kita berpikir bahwa kita bekerja untuk hidup, tetapi nyatanya, kita hidup hanya untuk bekerja dan membayar utang.

3. Kemiskinan yang Tertutupi 
Pada akhirnya, kemewahan yang kita pamerkan hanyalah fatamorgana. Kita terlihat kaya, tetapi kenyataannya, kita hanyalah miskin yang terselubung. Miskin waktu, miskin kebebasan, dan bahkan miskin ketenangan. Semua yang kita miliki sejatinya bukan milik kita, melainkan milik bank dan lembaga keuangan yang terus menagih.

4. Saatnya Berpikir Ulang 
Mungkin sudah saatnya kita mulai mempertanyakan kembali konsep kepemilikan dan kebahagiaan. Apakah benar kebahagiaan datang dari memiliki banyak hal, atau justru dari kesederhanaan dan kebebasan finansial? Mungkin, hidup bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, tetapi seberapa banyak kita bisa menikmati tanpa harus dibebani utang.

Jangan biarkan ilusi kemewahan menipu kita. Mulailah hidup dengan lebih sadar, lebih bijak, dan lebih merdeka dari jerat cicilan.

Refleksi : Akhir Kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki banyak barang, tetapi tentang memiliki kebebasan untuk menikmati hidup tanpa tekanan finansial. Mari mulai mengambil langkah kecil untuk hidup lebih sederhana dan lebih bermakna.

Februari 07, 2025

Tumbuh dalam Jarak



Sejak kecil, kami terbiasa hidup tanpa banyak waktu bersama orang tua. Pagi mereka pergi sebelum kami terbangun, pulang saat hari mulai gelap. Waktu berkumpul hanya sekejap, seringkali hanya untuk melihat lelah di wajah mereka sebelum akhirnya kami terlelap.

Kami belajar memahami tanpa banyak bertanya, belajar mandiri tanpa banyak bimbingan. Lalu setelah lulus SMP, kami harus pergi lebih jauh, merantau, menjalani hidup sendiri. Tidak ada lagi suara mereka di pagi hari, tidak ada kehangatan rumah saat pulang. Yang tersisa hanya rindu yang tidak bisa diungkapkan, dan doa-doa yang kami titipkan di setiap sujud.

Terkadang hati bertanya, bagaimana rasanya tumbuh dengan dekapan orang tua setiap saat? Bagaimana rasanya pulang dan selalu ada yang menyambut? Tapi hidup mengajarkan kami bahwa rindu adalah bagian dari perjuangan, dan sejauh apa pun kami pergi, hati kami tetap tertinggal di rumah—menunggu saat bisa kembali, meski tak tahu kapan.

Lelah Mengejar Dunia



Kadang kita terlalu sibuk mengejar dunia, seolah kebahagiaan sejati ada di sana. Padahal, semakin kita terobsesi, semakin lelah dan kosong hati ini rasanya. Harta, jabatan, dan pujian manusia tak akan pernah cukup, selalu ada yang lebih dan lebih lagi.

Dunia ini fana, semua yang kita kejar akan hilang pada waktunya. Kebahagiaan sejati bukan soal memiliki segalanya, tapi tentang mensyukuri apa yang ada. Berhenti sejenak, lihat ke dalam diri—apa yang benar-benar kita cari?

Jangan biarkan pikiran tentang dunia menguasai hati hingga lelah tak berujung. Hidup ini bukan hanya tentang memiliki, tapi juga tentang menemukan ketenangan dalam kesederhanaan.

Kejar Dunia atau Akhirat?

Pak Ustadz: "Jangan kejar dunia, kejar itu akhirat!" Aku: mengangguk khusyuk "Betul, Pak Ustadz, betul…" Tapi pas lihat ...